Kelembagaan Penunjang
Kelembagaan penunjang pertanian yang ada di pedesaan
sangat beragam. Lembaga-lembaga tersebut meliputi lembaga produksi (kelembagaan
tani), lembaga penyedia sarana produksi (kios-kios pupuk dan obat-obatan serta
KUD), lembaga penyuluhan pertanian, lembaga pelayanan permodalan atau lembaga
finansial (Bank, LKP, Koperasi simpan pinjam dan UPKD), lembaga
ketenagakerjaan, lembaga pengolahan hasil pertanian, lembaga pelayanan jasa
mekanisasi dan lembaga pemasaran hasil pertanian.
Lembaga-lembaga penunjang pertanian tersebut hampir
terdapat di semua desa yang menjadi lokasi penelitian. Akan tetapi keberadaan
lembaga pertanian tersebut tidak semua mempunyai daya dukung yang sama dalam
program pembangunan pertanian. Daya dukung kelembagaan adalah besarnya
kemampuan kelembagaan untuk mendukung (secara berkelanjutan) berlangsungnya
suatu program pembangunan pertanian. Peranan lembaga-lembaga itu dalam
pembangunan pertanian belum terintegrasi secara baik dalam mendukung
keberlanjutan pembangunan pertanian.
Lembaga-lembaga penunjang pertanian di pedesaan pada
wilayah lahan kering relatif lebih statis dibandingkan dengan yang berada di
wilayah lahan basah. Dinamika lembaga penunjang pertanian pada wilayah lahan
kering mempunyai hubungan dengan dinamika petani lahan kering dalam melakukan
aktivitas usahatani. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa daya dukung kelembagaan
penunjang pertanian pada wilayah lahan kering tergolong memiliki daya dukung
subsisten dan sub-optimum.
a.
Lembaga Produksi (Kelembagaan Tani)
Keberadaan kelompok tani belum berfungsi optimal untuk
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam kegiatan pertanian.
Kegiatan-kegiatan kelompok untuk menjaring informasi teknologi-teknologi baru
pada sumber teknologi hampir tidak pernah dilakukan. Anggota kelompok tani
belum menganggap kelompok tani sebagai media belajar dan penyelesaian
masalah-masalah yang berkaitan dengan pengelolaan usahatani.
Teknologi-teknologi yang diterapkan petani selama ini merupakan hasil belajar
sendiri dan keaktifan mereka untuk mencari informasi teknologi diantara mereka
sendiri. Petani padi memperoleh saprodi di kios yang terletak di ibukota
kecamatan, sedangkan penjualan hasil pertanian dilakukan kepada pedagang
pengumpul yang datang ke desa. Hal ini menunjukkan bahwa pemberdayaan kelompok
tani belum optimal. Banyak teknologi-teknologi yang belum mapu diakses petani
dan penyebaran teknologi belum mampu menjangkau semua lapisan petani.
Keaktifan anggota kelompok tani untuk mendukung kegiatan
kelompok sebagai media belajar bagi mereka relatif sangat rendah. Hal ini
dibuktikan dengan jumlah persentase kehadiran yang sangat sedikit dalam setiap
pertemuan kelompok tani. Peserta yang hadir kurang memberikan kontribusi saran
dan pendapatnya. Keaktifan kegiatan kelompok tani yang ada tidak terlepas dari
berjalannya sistem penyuluhan. Kegiatan penyuluhan diharapkan dapat memberi
motivasi kelompok tani untuk melakukan perubahan-perubahan yang lebih produktif
dan efesien.
Tingkat penerapan teknologi oleh petani sayur-sayuran pada
lahan kering dataran tinggi relatif tinggi, demikian juga tingkat penerapan
teknologi oleh petani tembakau pada wilayah lahan kering dataran rendah juga
relatif tinggi. Sedangkan tingkat penerapan teknologi untuk tanaman pangan,
tanaman buah-buahan, tanaman perkebunan dan peternakan masih relatif sangat
rendah. Hal ini menunjukkan bahwa daya dukung kelembagaan produksi dalam
penggunaan teknologi sifatnya tidak statis karena sangat tergantung pada jenis
komoditas yang dinilai oleh mereka mempunyai peluang pasar yang tinggi.
b.
Lembaga Penyedia Sarana Produksi
Jumlah pedagang sarana produksi dan kios yang terdapat
setiap desa di kabupaten Lombok Timur cukup sebanyak. Kios sarana produksi
menyediakan sarana produksi untuk petani meliputi benih, pupuk dan obat-obatan
tanaman. Jenis benih dan pupuk yang banyak dijual adalah benih padi sawah,
benih jagung dan pupuk Urea, SP36, ZA dan NPK. Jenis saprodi yang relatif
kurang diperdagangkan oleh kios-kios saprodi di desa-desa adalah obat-obatan
ternak. Sebagian peternak masih merasa kesulitan untuk memperoleh obat-obatan
ternak. Sementara keberadaan KUD yang sebagian besar berada di kota kecamatan
yang berfungsi sebagai penyalur saprodi kepada anggota relatif tidak aktif
lagi.
Kios sarana produksi tersebut tidak semua menjual setiap
hari, sangat tergantung musim dimana saprodi dibutuhkan petani atau disesuaikan
musim tanam. Kios saprodi yang berada di kota kecamatan relatif menjual saprodi
setiap hari dengan daya jangkau sasarannya lebih luas. Daya dukung lembaga penyedia
sarana produksi pada program pertanian ditentukan oleh waktu atau musim dan
jenis komoditas yang diusahakan petani.
Sistem pembayaran untuk pembelian saprodi oleh pedagang
ke distributor adalah bervariasi yaitu ada yang membayar kontan dan yang bayar
sebagian (sistem panjar). Sistem pembayaran untuk penjualan saprodi juga
bervariasi; ada yang dibayar kontan, dipanjar yang baru akan dibayar lunas
setelah panen, dan sistem ijon dengan bungan 30 – 40% per musim. Misalnya ijon
pupuk Urea sebanyak 1 kw dibayar setelah panen senilai Rp. 250.000,-.
Di bidang peternakan mutu bibit akan menentukan tingkat
produksi yang lebih baik dalam usahata ternak. Kualitas bibit ternak sapi Bali
masih sangat rendah bahkan petani/ peternak sudah mengalami kesulitan untuk memperoleh
mutu bibit sapi Bali yang baik. Untuk memperoleh bibit sapi yang berkualitas
harus didukung oleh penerapan teknologi dan kelembagaan. Akan tetapi
kelembagaan yang secara khusus memproduksi dan menyediakan bibit sapi Bali yang
berkualitas di pedesaan belum ada.
Peningkatan kualitas sapi Bali melalui penerapan
teknologi budidaya perlu menjadi prioritas. Kelembagaan pembibitan sapi Bali
yang secara khusus memproduksi bibit sapi Bali yang berkualitas belum tersedia.
Bibit sapi Bali yang dihasilkan yang kurang terseleksi dengan mutu yang kurang
terjamin akibatnya sering muncul masalah reproduksi, dan tingkat kematian anak
tinggi.
c.
Lembaga Penyuluhan dan Informasi Teknologi
Penyuluhan dan pembinaan petani yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga terkait masih relatif kurang. Daya dukung lembaga ini sangat
tergantung pada komoditas dominan yang di tanam dan tingkat intensifikasi yang
diterapkan. Akhir-akhir ini kegiatan PPL untuk melakukan penyuluhan pada
kelompok tani semakin berkurang. Hal ini sebagai dampak dari daya dukung yang
optimum dari kelembagaan ini selama revolusi hijau serta perubahan kebijakan
pemerintah pusat dalam memberikan otonomi kepada pemerintah daerah.
Kurangnya kegiatan penyuluhan di pedesaan menyebabkan
arus transformasi inovasi teknologi yang dibutuhkan petani mengalami penurunan.
Selama tiga tahun terakhir ini kegiatan penyuluhan dan pembinaan kelompok tani
tidak pernah dilakukan PPL. Kegiatan penyuluhan terutama dari PPL tanaman
pangan relatif kurang. Sampai dengan saat ini kelembagaan informasi teknologi
di pedesaan yang secara khusus melakukan kegiatan transfer teknologi,
memberikan pelayanan konsultasi teknologi dan pemberdayaan kelembagaan tani
belum ada. PPL perkebunan melakukan pembinaan kepada petani binaannya yang
menjadi mitra dari perusahaan tembakau.
Kebijakan pemerintah yaitu perubahan struktur
organisasi lembaga pemerintah dimana saat ini PPL berada di bawah Pemerintah
Daerah menyebabkan tidak dilakukan lagi program penyuluhan, kegiatan PPL
terbatas bahkan tidak ada kegiatan sama sekali. Dengan adanya Undang-Undang
Otonomi Daerah maka segala urusan pemerintahan diatur oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten termasuk ujung tombak pembangunan pertanian di lapang yaitu PPL.
Tugas PPL saat ini tidak hanya sebagai penyuluh pertanian, namun sebagian
waktunya untuk menyelesaikan administrasi kantor sehingga program penyuluhan
praktis tidak ada. Penyuluhan dilakukan apabila ada kegiatan proyek di wilayah
kerjanya.
Kegiatan pembinaan kelompok khusus pada tanaman tembakau
yang masih berjalan adalah yang dilakukan oleh Penyuluh Lapang Perkebunan (PLP)
yang merupakan tenaga teknis dari perusahaan tembakau relatif aktif memberikan
bimbingan kepada petani tembakau baik petani yang tergabung dalam kelompok
binaan maupun petani swadaya.
d.
Lembaga Pelayanan Permodalan
Lembaga finansial yang dominan biasa ada di desa adalah
lembaga finansial non formal seperti koperasi tani, kelompok simpan pinjam,
KUB, UPKD, UKM dan LKM serta yang paling dominan selalu ada di pedesaan yaitu
yang bersifat perorangan seperti rentenir. Lembaga finansial non formal selain
yang bersifat perorangan tidak semua terdapat di desa dan pelayanan permodalan
kepada petani untuk kegiatan usahatani sangat kurang. Bahkan terdapat sebagian
lembaga finansial non formal yang tidak aktif lagi. Daya jangkau dari
lembaga-lembaga tersebut relatif terbatas pada wilayah dusun atau desa.
Kekuatan permodalan yang dimiliki sangat terbatas dan tidak mampu melayani
kebutuhan petani. Daya dukung kelembagaan ini untuk melayani kegiatan
program-program pertanian sangat terbatas.
Lembaga permodalan atau lembaga finansial formal seperti
BRI, BPR dan LKP sebagian besar terdapat di kota kecamatan. Daya jangkau
lembaga tersebut hanya di sekitar kota kecamatan dan belum mampu melayani
kegiatan program pertanian. Lembaga-lembaga tersebut lebih dominan melayani
perkreditan di sektor-sektor lain di luar pertanian. Lembaga permodalan lain
seperti BNI dan bank-bank lain hanya terdapat di daerah tertentu dimana
kegiatan usahatani petani yang memiliki dinamika lebih tinggi seperti di
Kecamatan Sembalun yang merupakan sentra produksi sayur-sayuran dan di
Kecamatan Aikmel yang menjadi sentra produksi jagung untuk di lahan sawah
irigasi.
Akses masyarakat ke bank khususnya di daerah lahan kering
dataran tinggi seperti di Kecamatan Sembalun relatif cukup baik yaitu ke BRI
dan BNI yang ada Kecamatan Aikmel atau ibukota kabupaten yaitu Selong. Nasabah
BRI dan BNI cukup banyak di Desa Sembalun Lawang dan Sajang. Berbeda dengan
masarakat petani di wilayah lahan kering dataran rendah yang relatif lebih
kering, akses mereka pada Bank sangat kurang. Hal ini disebabkan oleh
persyaratan-persyaratan untuk peminjaman modal relatif rumit dirasakan bagi
petani dan tidak dapat dijangkau oleh petani kecil atau petani miskin.
Birokrasi yang dipandang agak berbelit-belit dari lembaga
keuangan formal dan adanya sistem jaminan di sebagian lembaga keuangan formal
menyebabkan petani merasa kesulitan mengakses lembaga keuangan formal. Dalam
mengatasi masalah keuangan, secara cepat, mudah dan tanpa jaminan, hanya dengan
modal saling percaya dan kejujuran adalah melalui rentenir dan pengijon. Mereka
merasa lebih bebas untuk meminjam uang atau sarana produksi di kios saprodi,
tetangga, dan keluarga, serta pelepas uang (istilah petani bank rontok/bank
subuh/bank keliling) dengan bunga yang relatif tinggi. Lemahnya lembaga
keuangan di tingkat desa sehingga petani tidak bisa melepaskan diri dari sistem
ini merupakan salah satu penyebab kemiskinan berkesinambungan di desa.
Modal usahatani terutama usahatani tembakau di wilayah
lahan kering dataran rendah sebagian kecil bersumber dari usahatani padi dan
usaha ternak. Kekurangan modal umumnya diperoleh dengan meminjam dari
perusahaan atau gudang dalam bentuk sarana produksi dan pelepas uang dengan
bunga yang relatif tinggi, bunga pinjaman yang dikenakan oleh pelepas uang atau
rentenir yaitu bisa mencapai 100 persen dalam satu musim tanam, sehingga
dikenal dengan istilah bank empat enam artinya meminjam empat bagian
dikembalikan sebesar enam bagian. Pelayan permodalan atau perkreditan berupa
saprodi (bibit/benih, pupuk dan obat-obatan) dari perusahan tembakau relatif
terbatas dan tidak mampu melayani semua petani tembakau. Jangka waktu pinjaman
sekitar enam bulan atau pembayaran dilakukan setelah panen dan langsung
diperhitungkan dari hasil penjualan tembakau di tambah bunga 12,5%.
Ketergantungan petani kepada rentenir dan ijon tidak
hanya untuk memperoleh modal usahatani, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Keterbatasan sumberdaya dan tidak adanya lembaga keuangan formal
yang dapat diakses petani menyebabkan ijon menjerat petani di segala bidang
kehidupan. Untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga maka segala jenis
komoditi pertanian seperti, pisang, panili, kopi dan bahkan anak sapi yang masih
dalam kandungan terpaksa diijonkan petani.
e.
Lembaga Pemasaran
Secara umum pasar untuk hasil pertanian dan peternakan
telah tersedia. Jumlah pedagang yang membeli hasil pertanian baik dari tingkat
desa sampai tingkat kabupaten dan propinsi cukup banyak dan mempunyai jaringan
pemasaran yang kuat dalam sistem pemasaran. Pedagang jagung, tembakau,
sayur-sayuran dan pedagang ternak misalnya mempunyai jaringan yang kuat dalam
sistem pemasaran. Volume pembelian dan penjualan hasil cukup tinggi dengan
tingkat harga yang bersaing. Beberapa komoditas tertentu seperti ternak sapi,
bawang putih, bawang merah, jagung, tembakau, kopi, kakao, dan panili telah
bersaing di pasar regional dan internasional.
Komoditas tembakau merupakan salah satu komoditas yang
dikembangkan di wilayah kering dataran rendah (lahan sawah tadah hujan) yang
telah membangun pola kemitraan dengan perusahaan tembakau mulai dari produksi
sampai pemasaran hasil yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak.
Petani yang sebagian besar memiliki permodalan yang
sangat terbatas mengharapakan dari pola kemitraan usahatani tembakau ini
mendapat dukungan penyediaan sarana produksi (pupuk dan obat-obatan) dan
pemasaran hasil. Namun demikian dalam hubungan kemitraan ini petani berada pada
posisi yang lemah, seperti misalnya dalam penentuan harga jual yang berdasarkan
grade. Keberadaan kelembagaan tani relatif lemah dan dalam meningkatkan posisi
tawar. Hal ini karena semua yang bergerak dalam bisnis tembakau masing-masing
menerapakan strategi untuk mencari keuntungan. Dalam dunia bisnis bahwa setiap
pelaku bisnis akan menerapkan strateginya sendiri untuk memperoleh keuntungan
walaupun itu dilakukan dengan tidak jujur.
f.
Lembaga Ketenagakerjaan Pertanian
Daya dukung kelembagaan ketenagakerjaan pertanian bersifat
tidak statis karena sangat tergantung pada waktu, jenis pekerjaan dan jadwal
kegiatan pertanian yang ada. Dukungan lembaga ini yang tergantung pada waktu
adalah kegiatan pengolahan tanah, tanam, penyiangan dan panen untuk tanaman
padi dilakukan menjelang dan selama dan akhir musim hujan; kegiatan pengolahan
tanah, penanam, penyiraman dan panen pada tanaman tembakau dan tanaman
sayur-sayuran.
Kelompok-kelompok kerja buruh tani adalah kelompok buruh
tanam dan panen tanaman padi dan tembakau, dengan jumlah satu kelompok kerja
berkisar 8 – 12 orang. Kelompok-kelompok kerja tersebut cenderung bersifat
parmanen karena pembentukan kelompok didasarkan domisili anggota. Mobilitas
tenaga kerja juga sangat tergantung pada jenis komoditas dan tingkat intensifikasi.
Komoditas tembakau dan sayur-sayuran (bawang merah, bawang putih, cabai dan
kubis) misalnya membutuhkan penyerapan tenaga kerja yang tinggi.
g.
Lembaga Pelayanan Jasa Mekaniasi Pertanian
Pelayanan jasa alsintan yang biasa ada pada kegiatan
pertanian adalah penyewaan traktor pada kegiatan pengolahan tanah, penyewaan
huller untuk penggilingan gabah, penyewaan mesin pemipil jagung serta penyewaan
alat open untuk pengeringan daun tembakau. Pemilikan alat-alat mekanisasi
tersebut umumnya bersifat perorangan kecuali terdapat sebagian kecil huller
maupun traktor yang merupakan milik KUD dan kelompok.
Kemampuan dan
keterbatasan tenaga kerja manusia untuk melakukan pekerjaan tersebut secara
manual serta waktu penyelesaian pekerjaan yang relatif lama maka daya dukung
dari kelembagaan ini akan meningkat.